Jumat, 06 November 2009

Quo Vadis Sosialisasi Permenkes 1010 ?

Sudah hampir setahun sejak ditandatanganinya Permenkes RI Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi Obat Jadi tidak jelas lagi kapan akan dilakukan sosialisasi secara resmi dari Badan POM ataupun dari Depkes RI kepada pihak industri farmasi sebagai pihak yang paling berkepentingan berkaitan dengan Permenkes tersebut. Ataukah memang pihak industri dituntut untuk mengerti dengan sendirinya untuk mengimplementasikan Permenkes tersebut dengan interpretasinya masing-masing? Masih banyak memang "PR" bagi Badan POM ataupun Depkes yang menelorkan Permenkes ini untuk menerbitkan peraturan-peraturan teknis sehubungan dengan implementasi Permenkes 1010 ini, seperti misalnya "Buku Coklat" yang selama ini menjadi kitab wajib bagi para registration officer dalam menyiapkan dossier registrasi yang harus segera direvisi untuk disesuaikan dengan Permenkes 1010 ini dan yang terutama adalah disesuaikan dengan ketentuan ACTD (Asean Common Technical Dossier) yang implementasinya sudah mulai diberlakukan sejak awal 2008 lalu.


Kembali ke belakang sebagaimana yang telah disampaikan melalui milist FKR beberapa waktu yang lalu, beberapa poin penting dan hal baru yang perlu perlu dicermati dari Permenkes 1010 yang ditandatangani tgl. 3 Nov 2009 lalu adalah sebagai berikut:


Pasal 6:

Ayat (1): Registrasi obat produksi dalam negeri hanya dilakukan oleh industri farmasi yang memiliki izin industri farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri.

Ini berarti bahwa PBF sudah tidak diperbolehkan lagi untuk mengajukan aplikasi registrasi obat produksi dalam negeri
ke POM.


Pasal 9: Obat impor diutamakan untuk obat program kesehatan masyarakat, obat penemuan baru dan obat yang dibutuhkan tapi tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Ini artinya bahwa untuk obat-obat copy yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri sudah tidak dapat di-impor lagi.


Pasal 10:

Ayat (1): Registrasi Obat Impor dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri yang mendapat persetujuan tertulis dari industri farmasi di luar negeri.

Ayat (2): Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencakup alih teknologi dengan ketentuan paling lambat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun harus sudah dapat diproduksi di dalam negeri.

Ini berarti bahwa untuk impor obat-obat yang termasuk dalam kategori Pasal 9 di atas, pada LoA-nya (Letter of Authorization) harus mencantumkan statement bahwa harus ada proses alih teknologi dan setelah 5 tahun harus sudah dapat diproduksi di dalam negeri.

Ayat (3): Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) obat yang masih dilindungi paten.

Ini artinya bahwa untuk obat yang masih dalam masa perlindungan paten tidak perlu mencantumkan statement di atas pada LoA.


Pasal (12): Registrasi obat dengan zat berkhasiat yang dilindungi paten di Indonesia hanya dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri pemegang hak paten, atau industri farmasi lain yang ditunjuk oleh pemegang hak paten.

Ini berarti bahwa untuk registrasi obat yang masih dalam masa perlindungan paten di Indonesia kita harus memperoleh surat penunjukan dari pemegang hak paten.


Pasal (13):

(Ayat 1): Registrasi obat dengan zat berkhasiat yang dilindungi paten di Indonesia dapat dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri bukan pemegang hak paten.

(Ayat 2): Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan mulai 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya perlindungan hak paten.

(Ayat 3): Dalam hal registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, obat yang bersangkutan hanya boleh diedarkan setelah habis masa perlindungan paten obat inovator.

Ini berarti bahwa kita bisa mengajukan aplikasi registrasi obat yang masih dalam masa perlindungan paten 2 (dua) tahun dimuka sebelum masa perlindungan patennya berakhir dan obat tersebut hanya boleh dipasarkan setelah masa perlindungan patennya berakhir.


Pasal (22):

Ayat (2): Evaluasi kembali obat yang sudah beredar dilakukan terhadap:

  1. Obat dengan resiko efek samping lebih besar dibandingkan dengan efektifitasnya yang terungkap sesudah obat dipasarkan.
  2. Obat dengan efektifitas tidak lebih baik dari placebo.
  3. Obat yang tidak memenuhi persyaratan ketersediaan Hayati/bioekivalensi.

Ayat (3): Terhadap obat yang dilakukan evaluasi kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), industri farmasi/pendaftar wajib menarik obat tersebut dari peredaran.

Ini berarti bahwa Badan POM dengan alasan di atas bisa menarik kapan saja suatu produk yang sudah beredar di pasaran yang dinilai tidak memenuhi criteria tersebut di atas terutama criteria BE yang sekarang sedang menjadi hot issue.


Pasal 24:

Ayat (1): Bagi yang telah mengajukan permohonan dan melengkapi dokumen registrasi sebelum diberlakukannya peraturan ini tetap akan diproses sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/MENKES/PER/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi.

Sudah cukup jelas.

Ayat (2): Obat yang telah mendapat izin edar berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/MENKES/PER/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi yang habis masa berlakunya setelah ditetapkannya Peraturan ini, dapat diperpanjang untuk paling lama (2) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya Peraturan ini.

Sudah cukup jelas.

Tidak ada komentar: